Pertanyaan:
Assalamu’alaikum warohmatullah
Ustadz, saya mau bertanya ttg masalah ini dan bagaimana jwbnya berdasarkan hukum Alloh subhanahu wa ta’ala?
Saya punya kakak perempuan yg kuliah di fisipol ugm, kakak saya berusia 22 tahun sekarang, tapi yg mengherankan dia telah menikah dg org yg masih belum paham agama (entah sejak kapan?) terlebih suaminya masih jauh dari qur’an dan banyak terpengaruh pemikiran filsafat. kini kakak saya diberi anak perempuan berusia 2th. Kakak saya itu kuliah tidak kos, tp alhamdulillah sudah ada rezki tinggal di rumah sendiri, ortu kami di jkt, akan tetapi kami tidak tahu teman2nya. Yang saya khawatirkan lelaki itu hanya menikahi kakak saya disebabkan alasan yang murahan, maaf ustadz, tapi semenjak pria itu menikahi kakak saya terlihat dia merasa berhak memanfaatkan rumah dan kendaraan pribadi kakak saya (rizki ortu kami, dengan izin Alloh).
Yang ingin sekali saya tanyakan adalah, apakah definisi dari ghibah, mengadu domba, merusak hubungan suami istri, dg pemahaman yang tepat? Karena saya ingin sekali menyadarkan ortu saya ttg masalah ini, sebab beliau2 seperti kurang sadar akan masalah ini. Prinsipnya saya tidak ingin mempermasalahkan harta, tapi saya takut kakak saya sudah dilibatkan dalam konspirasi jahat, karena ternyata pria itu berkantor dan memiliki banyak teman2 yg belum jelas agamanya di sekitar rumah kami. Saya takut ini buruk sangka, tapi sejujurnya saya curiga, bolehkah demikian?
Saya berharap, pertanyaan saya sudah jelas, dan saya sangat berharap ustadz bisa menjawab pertanyaan saya dg dalil yg kuat, disertai pemahaman yang tepat, karena bagaimanapun bencinya saya thdp pria itu, saya takut berbuat dzholim kemudian menambah dosa saya.
Jawaban Ustadz:
Ghibah telah didefinisikan langsung oleh Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang dikeluarkan oleh Imam Muslim yang artinya yaitu, “Engkau menyebutkan sesuatu yang ada pada saudaramu sedangkan dia tidak menyukai hal itu diceritakan kepada orang lain.” Sehingga apapun bentuknya menceritakan tentang orang lain adalah dilarang bila sesuatu tersebut tidak disenangi olehnya, hal ini dikecualikan oleh para ulama di antaranya oleh Syaikh Muhammad Ibnu Utsaimin dalam Syarah Riyadhus Shalihiin, beliau berkata:
“Ketahuilah bahwa ghibah diperbolehkan demi tujuan yang benar dan syar’i yang tidak mungkin tercapai tujuan tersebut tanpa melakukan ghibah, dan adapun ghibah yang diperbolehkan tersebut ada enam sebab:
Pertama, seseorang terzhalimi mengadukan kepada pihak yang berwenang dan dia mempunyai pengaruh terhadap orang yang menzhalimi.
Hal ini berdasarkan kisah Hindun binti ‘Utbah istri dari Abu Sufyan yang datang kepada Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: bahwa suaminya adalah orang yang kikir atau pelit, dan dia tidak memberi nafkah kepadaku dan anakku yang cukup, lalu beliau bersabda yang artinya, “Ambillah dari hartanya yang cukup untuk menafkahi dirimu dan anakmu tanpa berlebihan.” Dari cerita di atas Hindun mengatakan tentang suaminya bahwa dia kikir kepada Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam karena Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam adalah pemimpin, dan ini ghibah. Seandainya hal ini dilarang maka tentulah Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam sudah mengingkarinya.
Kedua, menjadikannya sebagai salah satu cara untuk mengubah sebuah kemungkaran, sehingga tukang maksiat tersebut meninggalkan maksiatnya.
Ketiga, meminta fatwa dari seorang ‘alim (orang yang berilmu).
Keempat, memperingatkan seluruh kaum muslimin akan kejahatan seseorang, di antaranya, jarh (melukai) orang-orang yang terjarh dari para perowi hadits (yang dimaksud adalah memberikan sifat tidak adil pada orang yang meriwayatkan hadits yang dianggap berhak menerima sifat tersebut sehingga haditsnya ditolak dan tidak diriwayatkan), Musyawarah dalam pemilihan calon pengantin, ikut serta dalam perdagangan, menitipkan harta, atau mu’amalah. Bila melihat seorang penuntut ilmu mondar-mandir kepada seorang ahlul bid’ah, dan khawatir terjadi perubahan padanya. Pemimpin yang tidak becus dalam kepemimpinannya.
Kelima, orang yang dengan terang-terangan melakukan sebuah kemaksiatan, seperti terang terangan minum bir.
Keenam, dengan tujuan mengenal dengan julukan tersebut seperti si pincang, si mata picek/kabur, si bisu, dan lain-lain (dengan sedikit perubahan bahasa dari penerjemah).”
Adapun mengadu domba adalah merupakan bagian dari namimah yang telah didefinisikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih, “Namimah adalah seseorang menukil (mengambil) perkataan manusia dari yang satu ke yang lainnya dengan tujuan merusak hubungan mereka, dan ini termasuk dosa yang besar, dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhori dan Muslim juga telah disebutkan orang yang sedang mendapatkan siksaan di alam kuburnya di antaranya adalah karena dia sering menyebar luaskan fitnah antara manusia, yang mana perbuatannya ini menyebabkannya berhak mendapatkan siksaan tersebut.”
Allah berfirman,
وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَهِينٍ هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ
“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina. yang banyak mencela, yang kesana ke mari menyebar luaskan fitnah.” (QS. Al Qalam: 10,11)
Saya berwasiat kepada diri saya juga ikhwah untuk melihat kembali setiap perkataan yang mungkin mempunyai tujuan memecah belah persaudaraan sesama muslim untuk segera meninggalkannya karena hal ini terkadang tidak disadari, serta bedakanlah antara keinginan memperbaiki keadaan orang yang kita maksud dengan keinginan kita untuk menyingkirkannya dari hadapan kita karena kita tidak suka terhadapnya.
***
Penanya: Dimas Jakarta
Dijawab Oleh: Ust. Abu Hafsah Subkhan Khadafi, Lc.
Sumber: muslim.or.id
🔍 Minum Air Kencing Unta, Berapa Liter Beras Untuk Zakat Fitrah, Doa Agar Disukai Lawan Jenis, Doa Cari Jodoh Menurut Islam, Fashdu Artinya, Kumpulan Ceramah Idul Adha